Perahu kayu, atau yang akrab disebut “ketek,” bagi masyarakat di wilayah perairan seperti Tulung Selapan, Air Sugihan, Sungai Menang, dan Cengal, bukan sekadar moda transportasi, melainkan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Ketek: Nadi Kehidupan Masyarakat Perairan
Ketek menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat, sarana mencari nafkah di laut, alat silaturahmi, dan penghubung antar wilayah.
Di tangan para pengrajin lokal, ketek menjelma menjadi warisan budaya yang terus dijaga dan dilestarikan.
“Ketek ini bukan hanya alat transportasi, tapi juga identitas kami sebagai masyarakat sungai. Kami bangga bisa terus melestarikan tradisi pembuatan ketek ini,” ujar Suherman, seorang pengrajin ketek asal Simpang Tiga.
Menurut Suherman, pembuatan satu unit ketek membutuhkan waktu sekitar 10 hari. Prosesnya meliputi pemilihan kayu meranti merah yang sudah kering, pengeringan kayu selama seminggu, penentuan ukuran yang tepat (4-5 meter), hingga perakitan 60 keping kayu untuk badan perahu.
Mesin yang digunakan bervariasi, mulai dari mesin engkol diesel tipe 1115 PK. Sentuhan akhir diberikan dengan cat merek Kuda Terbang yang dikeringkan selama 1-2 hari.
“Keahlian ini saya dapatkan secara turun-temurun. Alhamdulillah, pesanan terus mengalir,” kata Suherman.
Bahkan banyaknya pesanan, pembeli harus rela mengantri hingga satu tahun untuk mendapatkan ketek impian mereka.
Harga satu unit ketek berkisar antara Rp. 8 – 40 juta, tergantung spesifikasi yang diinginkan pemesan. Meski demikian, kualitas tetap menjadi prioritas utama para pengrajin.
“Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik. Kualitas kayu, mesin, dan cat yang kami gunakan selalu yang terbaik,” tegas Suherman.
Pelestarian Warisan Budaya untuk Masa Depan
Pembuatan perahu kayu di Desa Simpang Tiga adalah bukti nyata bahwa warisan budaya dapat menjadi sumber penghidupan, identitas, dan inspirasi bagi generasi muda. Pelestarian potensi lokal ini adalah tugas bersama, demi masa depan desa yang berakar pada kekuatan lokal.