Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) bernomor 40.B/LHP/XVIII.PLG/05/2025 tertanggal 24 Mei 2025, mengungkap manipulasi anggaran senilai Rp2,1 miliar yang diduga berasal dari proyek fiktif. Dana tersebut seharusnya diperuntukkan bagi peningkatan layanan kesehatan masyarakat OKI.
Modus Operandi: “Ghost Meetings” dan Manipulasi Laporan
Audit BPK menemukan indikasi kuat adanya “ghost meetings” atau pertemuan fiktif dalam 18 kegiatan di Dinas Kesehatan OKI tahun 2024. Total anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan ini mencapai Rp2.352.925.250,00.
Namun, investigasi lapangan membuktikan 17 dari 18 kegiatan tersebut tidak pernah dilaksanakan. Bukti-bukti menunjukkan peserta yang tercantum dalam laporan pun tidak pernah diundang.
Beberapa kegiatan fiktif yang teridentifikasi antara lain Pelatihan Pelayanan ANC Persalinan, Nifas dan SHK (Rp242,98 juta), Pelatihan Edukasi Gizi pada 1000 HPK (Rp217,68 juta), dan Penguatan Upaya Kesehatan Usia Produktif dan Lansia (Rp167,45 juta).
Praktik Korupsi Sistemik: Mark-Up dan Kelebihan Pembayaran
Selain “ghost meetings”, BPK juga menemukan praktik mark-up biaya transportasi (Rp424.005.000,00) dan kelebihan pembayaran uang harian serta transportasi peserta (Rp79.940.000,00).
Meskipun dana ini telah dikembalikan, temuan ini menguatkan dugaan adanya praktik korupsi sistemik di Dinas Kesehatan OKI. PPK dan PPTK beralasan mengikuti “kebiasaan sebelumnya” dan “tidak memahami peraturan” sebagai pembenaran atas tindakan mereka.
Temuan BPK ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam pengawasan dan pengendalian anggaran di Dinas Kesehatan OKI. Kepala Dinas Kesehatan sebagai Pengguna Anggaran (PA), PPK, dan PPTK dinilai lalai dalam menjalankan tugas dan wewenang mereka.
Hal ini melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Bupati OKI menyatakan akan menindaklanjuti rekomendasi BPK, termasuk memproses kelebihan pembayaran Rp2.137.175.250,00 dan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat.
Namun, publik menuntut transparansi dan pertanggungjawaban hukum yang tegas atas skandal ini. Dana yang hilang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan masyarakat OKI, bukan untuk memperkaya segelintir oknum. (DPD SWI/Deni/Red)